Selasa, 07 Juni 2011

SIMULASI KETERSEDIAAN AIR BULANAN DENGAN BASIS DATA SPASIAL FAKTOR-FAKTOR SUMBERDAYA AIR: KASUS SUB-DAS HULU CITARUM


Muhamad Rahman Djuwansah
Pusat  Penelitian Geoteknologi – LIPI
Kompleks LIPI. Jl. Sangkutiang Bandung 40135.
Telp. 022-2503654, Fax. 022-2504593

Abstrak: Basis Data Spasial Sumberdaya Air di Cekungan Bandung telah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi sumberdaya air yang bersifat kuantitatif dan lebih rinci. Pengembangan Basis Data didasarkan pada neraca airtanah  dengan menggunakan  metoda Curve Number (CN), distribusi tegangan airtanah (pF) dan konduktivitas hidraulik batuan (k) setempat. Data masukannya adalah isohyet bulanan, dan peta-peta penggunaan lahan, tanah dan geologi yang diolah pada perangkat lunak SIG. Isohyet diturunkan dari data curah hujan dan DEM, sedangkan peta penggunaan lahan diturunkan dari citra satelit LANDSAT/ASTER. Tujuan makalah ini adalah untuk menyajikan prosedur yang sederhana dan tepat untuk ketelitian skala peta 1:50000, dalam mensimulasikan ketersediaan air bulanan. Luaran perhitungan disajikan dalam bentuk peta tematik bulanan komponen-komponen sumberdaya air seperti air permukaan, evapotranspirasi, infiltrasi dan perkolasi, atau dalam bentuk tabular dan grafik untuk keseluruhan atau sebagian area yang dipilih di daerah studi. Hasil perkiraan berdasarkan data tahun 2001 dan 2004 memperlihatkan adanya penambahan aliran permukaan dan pengurangan ketersediaan airtanah sebagai akibat perubahan tutupan lahan dan pengurangan curah hujan. Basisdata ini dapat pula dipakai sebagai alat prakiraan ketersediaan airtanah di masa mendatang yang diakibatkan baik oleh  perubahan penggunaan lahan maupun perubahan iklim.

Kata kunci : Basis data, Sumberdaya air, Spasial, Ketersediaan, Simulasi, Pengunaan Lahan, Iklim.

Abstract: Spatial Monthly Water resources Database of Bandung Basin has been  developed to fulfill the necessity of more detailed quantitative water resources information. Database development was based on soil water balance using  Curve Number (CN) method, distribution of soil permeability tension (pF) and hydraulic conductivity (k) of existing rocks. Input data were monthly isohyet, land use, soils and geologic maps that were processed in GIS software. Isohyet was derived  derived from rainfall data and DEM, whereas land use map was derived from satellite LANDSAT/ASTER image. The objective of this paper is to represent simple and appropriate procedure for 1:5000 map scale resolution, in simulating monthly water availability. The outputs of the calculation could be presented as monthly thematic maps of water resources component such as surface water, evapotranspiration,  infiltration and percolation, as well as graphics of tabular data for over all study region or selected area. The estimation results from the data of 2001 and 2004 show the increase of surface run-off and decrease of groundwater availability due to land-use change and rainfall decrease. This database can be use to forecast the future water resources availability caused by land use changes as well as by climatic changes.

Keywords: Data Base, Water Resources, Spatial, Availability, Simulation, Land Use, Climate.


PENDAHULUAN

Pemanfaatan sumberdaya air dan lahan di tanah air, khususnya di daerah berpenghuni padat, pada saat ini banyak yang telah tidak sesuai lagi dengan daya dukungnya. Terlampauinya batas-batas daya dukung ini dicirikan dengan berulangnya kejadian serta peningkatan intensitas bencana dan masalah yang berkaitan dengan air, seperti banjir, longsor, serta kekeringan di musim kemarau. Peristiwa-peristiwa tersebut,  pada banyak tempat di Indonesia  sudah menjadi kasus rutin dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Cara terbaik penanggulangan masalah ini adalah dengan menata kembali pola penggunaaan lahan dan prasarana tata air. Untuk itu diperlukan informasi yang rinci dan terukur tentang tata air wilayah yang dapat memberikan gambaran tentang jumlah, sebaran, dan bentuk ketersediaannya. Disamping itu, perubahan-perubahannya yang diakibatkan oleh dinamika iklim dan tutupan lahan harus pula diperkirakan.
Untuk skala yang kecil ( <1:100.000),  potensi ketersediaan sumberdaya air suatu daerah biasa diduga atas dasar iklim setempat  melalui Neraca air Atmosferik (1),  yang juga dapat disusun secara spasial (2) dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis. Basis data sumberdaya air untuk skala yang lebih besar (1:50 000)  dikembangkan berdasarkan pada prinsip neraca airtanah dengan  memisahkan air presipitasi yang jatuh pada suatu daerah menjadi komponen-komponen Evapotranspirasi, Air Permukaan, Airtanah dalam dan Airtanah Dangkal. Dinamika daur air secara spasial dan kuantitatif diharap lebih dapat direpresentasikan pada model ini dengan memperhitungkan lebih banyak faktor-faktor tanah dan batuan. Pemisahan komponen-komponen  dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip  hubungan  Penguapan- Air limpasan-Infiltrasi  (CN-NRCS), Distribusi Tegangan airtanah (pF), dan porositas batuan (3).  Data faktor-faktor sumberdaya air yang telah tersusun dalam format (SIG) dapat dipakai untuk simulasi perubahan ketersediaan sumberdaya air pada area tersebut yang diakibatkan oleh perubahan tutupan lahan dan curah hujan.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempresentasikan  prosedur penyusunan basis data ketersediaan air secara spasial sebagai hasil interaksi faktor-faktor hidrologi untuk ketelitian skala peta 1:50000 beserta fluktuasi setiap bulannya dalam tahun tertentu, yang terinci dalam bentuk-bentuk air permukaan, airtanah dangkal dan air tanah dalam yang terdapat pada suatu wilayah. Aplikasi basis data yang telah tersusun untuk berbagai penggunaan, antara lain simulasi perubahan iklim dan pendugaan jumlah cadangan airtanah di masa mendatang didiskusikan pula pada bagian akhir.
Daerah studi merupakan bagian paling Hulu DAS Citarum, mulai dari puncak-puncak dan punggung-punggung gunung yang mengitari cekungan Bandung sampai dengan stasiun pengukur luah Sungai Citarum di Nanjung, dengan luas kira-kira 18000 km2 pada ketinggian antara 600 s/d 2500 m dpl.. Daerah ini memiliki bentuk lahan yang datar dan bergelombang di bagian tengahnya sampai berlereng dan bergunung pada bagian tepi dan batas-batas DAS yang mengitarinya. Bagian tengah sub-DAS merupakan dasar danau purba (holosen),  dikelilingi oleh pegunungan vulkanik di sekitarnya. Bagian terluas dasar cekunganterbentuk dari endapan danau berselang seling dengan endapan fluviatil dan endapan rawa (4). Sedangkan batuan vulkanik di sekelilingnya terdiri dari berbagai formasi kuarter muda (pleistosen atas) yang didominasi oleh tufa yang berselang seling dengan breksi dan lava (5; 6). Batuan terobosan dijumpai di bagian barat sub DAS yang merupakan bagian terhilir daerah studi.
Gambar 1. Lokasi daerah studi
Curah hujan tahunan di daerah ini bervariasi antara 1800 mm di dasar cekungan sampai dengan sekitar 3000 mm di puncak-puncak gunung (7). Terdapat perbedaan jumlah curah hujan yang jelas antara musim hujan dan kemarau, tetapi pada umumnya, sejumlah kecil curah hujan masih jatuh di musim kemarau, terutama di bagian puncak pegunungan.
Sebagian besar tanah di daerah studi tergolong tanah masih muda tahap perkembangannya (inceptisols menurut taksonomi tanah). Tanah-tanah berciri sifat Andic yang merupakan tanah khas daerah vulkanik  (Andosol) banyak terdapat di daerah pegunungan yang relatif datar. Sedangkan pada bahan induk hasil endapan di dataran dasar cekungan tanah umumnya memperlihatkan ciri-ciri pengaruh genangan (hidromorfik). Tanah yang memiliki kesarangan relatif besar dijumpai di ketinggian, pada bahan induk yang berasal dari pasir vulkanik muda.  Di bagian lereng, umumnya kesarangan tanah berkurang dengan tingginya kandungan butiran liat sebagai hasil pelapukan tanah. Pada endapan aluvial di dasar cekungan,  kesarangan massa tanah amat kecil,  bahkan lapisan bawah (subsoil) tanah alluvial ini banyak yang kedap pada musim hujan karena tingginya kandungan partikel halus (liat). Kesarangan tanah-tanah aluvial ini mengalami peningkatan pada musim kemarau dengan adanya rekahan–rekahan tanah (cracks) dan tingginya kandungan bahan organik yang tercampur.
Daerah yang datar atau berkemiringan rendah di daerah penelitian umumnya digunakan untuk sawah. Pada daerah dengan kemiringan lebih tingi, pertanian beralih pada kultur lahan kering. Sayuran merupakan komoditi yang paling banyak dibudidayakan, terutama pada lahan pertanian pada elevasi tinggi. Perkebunan teh dan kina dikembangkan pada daerah perbukitan sejak zaman Belanda. Sedangkan hutan yang dijumpai pada daerah-daerah puncak luasannya mengalami pengurangan karena terdesak oleh perluasan lahan pertanian, terutama sayuran.Hal yang mencolok di daerah ini adalah cepatnya perluasan lahan pemukiman. Alih fungsi ini tidak saja terjadi pada lahan-lahan pertanian yang datar, tetapi merambah sampai ke  daerah berlereng.

DATA DAN METODA.

Metodologi

Pemisahan air hujan menjadi komponen-komponen sumberdaya air diakukan melalui tahapan sbb.: Pertama, menghitung jumlah air hujan yang meresap (infiltrasi) ke dalam tanah dengan metoda CN yang dikembangkan oleh US-Soil Conservation Services (8). Kedua, air yang meresap ke dalam tanah kemudian dipisahkan lagi berdasarkan distribusi ukuran pori (tegangan air = pF) tanah menjadi air yang mengalir sebagai late run off, menguap kembali melalui evapotranspirasi, dan air perkolasi ke dalam tanah dan mengisi airtanah dangkal pada muka airtanah. Sedangkan pada tahap ketiga, air yang mengisi lapisan pembawa air pada batuan yang lebih dalam di pisahkan dari airtanah dangkal berdasarkan perbedaan konduktifitas hidraulik (k) tanah dan batuan.  Prinsip metoda yang dipakai pada setiap tahap di atas adalah sbb.

  • Metoda CN (SCS)
Metoda CN didasarkan atas hubungan infiltrasi pada setiap jenis tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada setiap kali hujan. Total curah yang jatuh pada setiap hujan (P) di atas tanah dengan potensi maksimal tanah untuk menahan (retention) air (S) tertentu, akan terbagi menjadi tiga komponen; Air larian (Q), Infiltrasi (F) dan Abtraksi awal (Initial Abstraction: Ia), dengan hubungan : 

Q = (P - Ia)2/(P – Ia) + S                 …(1)

  Menurut hasil pengalaman empiris di banyak tempat (di AS) diperoleh :

Ia = 0,2 S                                     …(2)

Dan dari hubungan di atas maka  nilai Q bisa diperoleh dari input P berdasarkan persamaan:

Q = (P – 0,2S)2/(P + 0,8S)              ...(3)

Q dan P dapat diketahui dari hasil pengukuran, sedangkan S dan Ia merupakan parameter yang tidak diketahui. Penetapan  nilai S dilakukan dengan melalui nilai runoff Curve Number(CN) dengan rumus

                   S =   (25400/CN) - 254     untuk S dalam satuan mm               ...(4)

CN adalah indeks yang mencerminkan kombinasi faktor-faktor hidrologis tanah yang merupakan fungsi dari tiga faktor: jenis (tekstur)tanah, tutupan lahan dan kelembaban tanah awal. SCS mengkelaskan tanah menjadi empat kelas (A, B, C dan D), mengkelaskan tutupan lahan menjadi 21 kelas,  serta mengkelaskan kelembaban tanah awal (antecedent moisture classes: AMC) menjadi tiga kelas. Nilai CN berada pada kisaran antara 0 sampai 100.
Apabila P dan Q sudah diketahui maka berarti S juga sudah diketahui sehingga Ia dan F dapat dihitung melalui:  

F = (P-Ia)-Q                                      ...(5)

  • Distribusi Ukuran Pori
Pemisahan air infiltrasi menjadi  komponen air yang bergerak ke lapisan tanah yang lebih dalam (perkolasi) dan komponen air yang menguap melalui evapotranspirasi, didasarkan atas prinsip sebagai berikut: air infiltrasi ke dalam tanah pertama-tama akan mengisi pori-pori halus, sedangkan pori-pori yang lebih kasar diisi setelah pori halus dijenuhi. Pada penglepasannya, pori-pori berukuran kasar akan dikosongkan terlebih dahulu. Air pengisi pori-pori kasar (pori drainase) tertahan oleh tanah dengan tegangan yang lebih lemah dari gaya gravitasi (pF < 2) dan akan mengalir ke lapisan yang lebih bawah atau keluar lagi sebagai mata air di tempat yang lebih rendah. Air yang masuk ke dalam pori-yang lebih kecil (pori kapiler), tertahan oleh tegangan yang lebih besar dari gaya grafitasi (pF > 2) sehingga tidak akan mengalir dan hanya bisa dilepaskan dari tanah dengan hisapan akar atau penguapan. Sedangkan pada pori-pori yang sangat halus akan ditahan oleh tanah sangat kuat (pF > 4,2) sehingga akan tetap berada di dalam tanah. 
Untuk pengembangan Anggaran Air, pendugaan proporsi berbagai kelas pori tanah didekati berdasarkan hubungan antara tekstur dan permeabilitas (9).
Jumlah air perkolasi pada setiap kali hujan adalah jumlah air Infiltrasi dikurangi jumlah air yang mengisi pori kapiler. Pada bulan basah pori kapiler yang diisi kembali pada setiap kali hujan diperkirakan hanya 1/5 dari keseluruhan pori kapiler, sedangkan pada musim kemarau diperkirakan setengahnya.
Jumlah air perkolasi (p) adalah:

p = (F/S – 0.2 k) F    pada  bulan basah, dan        .......   (6)
p = (F/S – 0.5 k) F    pada bulan kering                ......    (7)

Dimana 
k = persentasi pori kapiler
F = air infiltrasi
S = kapasitas simpan tanah
Batas bulan basah dan bulan kering pada curah hujan bulanan = 60 mm.

  • Perbedaan Nilai Konduktivitas Hidraulik
Pergerakan air di dalam tanah dan Batuan di tentukan oleh besarnya konduktivitas hidraulik (k) setiap jenis Batuan (10).   Air di dalam tanah/batuan memiliki tekanan yang besasal dari beban air di atasnya sampai dengan dari paras air tanah. Apabila terdapat kekosongan atau penurunan tekanan di dalam akifer airtanah dalam (akifer tertekan) sebagai akibat kebocoran (leakage) atau pengambilan air tanah, maka akan ada aliran air di dalam masa batuan  ke ke arah yang tekanannya lenih rendah.  Apabila k tanah (k1) lebih besar daripada k batuan (k2),  debit air tanah yang mengisi batuan adalah sebesar:

k1 q1= k2 q2  atau  q2 = k2/k1 * q1                                  ........    (8)

sedangkan sisanya akan mengalir secara lateral dan akan keluar ke permukaan sebagai mata air. Apabila k1 lebih besar atau sama dengan k2 maka debit air pada tanah dan batuan akan sama besar. Untuk kondisi cekungan Bandung, sejak tahun 1960 terjadi kekosongan yang semakin bertambah karena adanya pengambilan airtanah (11).

  • Penyesuaian spasial dan temporal
Metoda CN didisain untuk menduga perbandingan air hujan dan air larian pada setiap kali hujan di atas tanah tertentu. Untuk mendapatkan  luaran spasial perhitungan dilakukan untuk satu satuan lahan dengan karakteristik tanah, geologi dan tutupan  lahan yang seragam. Sedangkan untuk mendapatkan gambaran tentang variasi temporal, perhitungan secara spasial dilakukan untuk setiap bulan.  Data masukan Curah hujan yang dipakai pada perhitungan adalah curah hujan harian rata-rata pada bulan yang bersangkutan.

Data

Penyimpanan data dan perhitungan dilakukan pada perangkat lunak system Informasi Geografi (SIG). Data input untuk pembangkitan Anggaran air ini adalah sbb.:

  1. Peta Topografi 1: 25 000, yang kemudian ditransformasi menjadi peta model elevasi digital (DEM).
  2. Peta Isohyet bulanan yang dibuat berdasarkan hasil rekaman curah hujan pada 11 stasiun di dalam wilayah studi, sepanjang tahun 2001dan 2004.
  3. Peta tanah
  4. Peta tutupan lahan yang dihasilkan dari penafsiran Citra LANDSAT-TM7 tahun 2001 dan Citra ASTER 2004
  5. Peta Geologi (litologi)
  6.  Nilai-nilai konduktivitas hidraulik batuan (table 1.) diadopsi dari Freeze and Chery, 1979 (10; 12), sedangkan permeabilitas tanah (table 2) didekati dari nilai pF untuk rata-rata kelas tekstur tanah menurut Chamayou et.al, 1989 (9;13).
HASIL

Penyajian.

Luaran perhitungan dapat disajikan berupa peta tematik bulanan dari setiap komponen sumberdaya air, seperti misalnya peta-peta: evapotranspirasi, air larian, infiltrasi,  perkolasi dan imbuhan airtanah dalam. Perlu diperhatikan bahwa hasil perhitungan hanya menyajikan besaran rata-rata bulanan yang diproduksi pada lokasi-lokasi yang dipetakan. Sedangkan pengurangan atau penambahan selama sebulan yang dihasilkan dari aliran masuk atau aliran keluar lokasi tidak disertakan. Satuan pengukuran yang dipakai pada perhitungan adalah mm kolom air yang kemudian pada penyajian dikonversikan pada satuan volume (m3). Hasil perhitungan dapat disajikan untuk seluruh daerah studi atau sebagian daerah yang dipilih.
 
Gambar 2. Ketersediaan air bulanan tahun 2001
untuk keseluruhan daerah studi (a) dan daerah terpilih (b). 
Gambar 3. peta produksi ailr larian pada
bulan basah (Januari) dan bulan kering (Juli) 2001.
Gambar 4. Distribusi produksi air infiltrasi untuk
bulan basah  (Januari) dan bulan kering (Juli) 2001.

Gambar 5. Distribusi produksi air perkolasi untuk
bulan basah  (Januari) dan bulan kering (Juli) 2001.
 Validasi

Validasi hasil dilakukan dengan cara memperbandingkan air larian total bulanan/tahunan hasil perhitungan terhadap total aliran tinggi (highflow) yang di pisahkan dari kurva hidrograf yang terekam di stasiun Nanjung dengan teknik continuous separation (14). Gambar 6 memperlihatkan adanya perbedaan antara hasil perhitungan dan hasil pengukuran yang bervariasi untuk setiap bulan. Untuk data tahun 2001, perbedaan (error = (hsl terukur - hsl terhitung)/(hsl terukur + hsl terhitung)) terbesar dijumpai pada bulan juli (0.87) yang merupakan bulan terkering, sedangkan perbedaan terendah (0.006) dijumpai pada bulan Nopember yang merupakan bulan terbasah. Perbedaan rata-rata bulanan sebesar 0,117 dan perbedaan tahunan sebesar 0.027.  Untuk Data tahun 2004, perbedaan terbesar dijumpai pada bulan Agustus (-1) yang karena tidak ada hujan, sedangkan perbedaan terendah (0.01) dijumpai pada bulan Maret dan Desember ketika curah hujan tinggi, walaupun bukan merupakan bulan terbasah. Perbedaan rata-rata bulanan sebesar 0,2 dan perbedaan tahunan sebesar 0.01. Dengan hasil diatas tampak bahwa tingkat kesalahan perhitungan ini akan semakin besar apabila curah hujan yang jatuh semakin kecil.

Hasil di atas menunjukan bahwa hasil perhitungan memberikan kesalahan yang kecil untuk rata-rata tahunan dan kesalahan cukup besar untuk setiap bulannya. Hal yang sama akan dijumpai pula dari sisi distribusi spasial, semakin besar resolusi spasialnya akan semakin besar pula kesalahannya.  Meski demikian, untuk informasi yang setara dengan peta skala 1: 50 000 informasi yang terdapat pada basis data ini memiliki tingkat ketelitian yang memadai.  Di lain fihak, untuk tujuan pengguanaan yang lebih detail, seperti misalnya untuk disain enjinering, akan diperlukan studi yang lebih rinci secara setempat di sekitar lokasi yang akan dikembangkan. Tingkat kesalahan hasil perhitungan  seperti di atas masih memungkinkan untuk diperbaiki, misalnya dengan memperbaiki kualitas data yang dijadikan masukan,  untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan konsisten untuk diterapkan di tempat lain.
Gambar 6.  Perbandingan hasil bulanan antara Air larian terhitung (Pe)
dan aliran tinggi terukur (High flow)  untuk data 2001 dan 2004.
Perbandingan Kuantitas Sumberdaya air pada 2001 dan 2004

Seperti yang tampak pada citra satelit, perubahan penggunaan lahan yang berarti telah terjadi di Cekungan Bandung pada perioda antara 2001 dan 2004. Pemukiman dan kawasan Industri bertambah sekitar 20 % dan hutan berkurang dengan luasan yang kurang lebih sama. Daerah lainnya yang mengalami perluasan adalah pertanian lahan kering (75%), tanah terbuka (50%) dan kebun campuran (10%). Sedangkan daerah yang mengalami pengurangan adalah perkebunan (44%) dan belukar (35%).
Dari segi iklim, tahun 2004 lebih kering daripada tahun 2001. Perhitungan dengan isohyet menghasilkan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2650 mm pada 2001 dan hanya sekitar 1710 mm pada 2004. Jumlah komponen-komponen air terhitung di Cekungan bandung pada tahun 2001 dan 2004 disajikan pada table 1. Konsekuensi dari pengurangan tutupan lahan dan curah hujan memberikan jumlah keterdiaan air pada tahun 2004 lebih kecil dari 2001, terutama pada ketersedian airtanah dangkal dan airtanah dalam.

Table 1. Curah Hujan dan Jumlah komponen sumberdaya air terhitung (dalam juta m3) untuk tahun 2001 dan 2004.

Simulasi

Simulasi perubahan iklim tahunan dan penggunaan lahan dilakukan dengan mengganti data Tutupan lahan dan Isohyet pada database.  Misalnya pada database tahun 2001 data curah hujannya dapat diganti dengan data 2004 untuk melihat pengurangan curah hujan pada kondisi tutupan lahan yang tetap, atau mengganti data tutupan lahan untuk menduga pengaruh tutupan lahan pada curah hujan yang tetap. Hasil simulasi ini memperlihatkan bahwa perubahan vegetasi dari tahun 2001 menjadi seperti pada tahun 2004 untuk curah hujan yang sama akan menghasilkan lebih banyak air larian, sedangkan penurunan jumlah curah hujan pada tutupan lahan yang sama dengan sendirinya akan mengurangi air larian. 

Gambar 7.  Pengaruh pengurangan curah hujan (data 2004)
terhadap variasi bulanan air larian terhitung untuk data tutupan lahan 2001.

Pengaruh perubahan tutupan lahan dan curah hujan terhadap imbuhan airtanah dangkal dan dalam memperlihatkan pola yang serupa, karena imbuhan airtanah dalam merupakan bagian dari imbuhan airtanah dangkal dan jumlahnya pun sebanding walau dengan persentase yang jauh lebih kecil. 
Gambar 8.  Pengaruh pengurangan tutupan lahan (data 2004)
terhadap variasi bulanan air larian terhitung untuk data curah hujan 2001.
Gambar 9. Pengaruh pengurangan tutupan lahan (data 2004)
terhadap variasi bulanan imbuhan airtanah dangkal dan airtanah dalam terhitung.
Gambar 10. Pengaruh pengurangan tutupan lahan (data 2004)
terhadap variasi bulanan imbuhan airtanah dangkal dan airtanah dalam terhitung.

Pada contoh di atas perubahan yang diakibatkan oleh perubahan curah hujan tampak lebih signifikan daripada yang diakibatkan oleh perubahan tutupan lahan. Hal ini dikarenakan perbedaan jumlah curah hujan antara tahun 2001 dan 2004 yang besar,  yaitu 4,674 mm pada tahun 2001 dan hanya 3,085mm pada 2004, atau perbedaan sekitar 35 persen antara kedua tahun tersebut.  Sedangkan perubahan tutupan lahan, meskipun secara luasan cukup berarti, tetapi pengaruh perubahan dari suatu jenis tutupan kepada jenis lainya secara hidrologis tidak besar.  

Dari kedua jenis faktor yang berubah ini, perlu diingat bahwa perubahan curah hujan terjadi lebih dinamis dan pengulangannya terjadi lebih sering, seperti misalnya selalu terdapat pengulangan tahun-tahun basah dan kering yang diakibatkan oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode. Sedangkan perubahan tutupan lahan umumnya bersifat lebih laten. Pada kenyataannya perubahan tutupan lahan selalu terjadi secara berangsur angsur dari hutan menjadi perkebunan, kemudian menjadi lahan pertanian, dan pada akhirnya di tempat-tempat strategis akan berubah menjadi daerah pemukiman. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa perubahan tutupan lahan secara umum selalu berevolusi dari jenis tutupan vegetasi rapat seperti misalnya hutan menjadi jenis yang bertutupan vegetasi jarang atau tanpa tutupan sama sekali.  Jenis dengan tutupan vegetasi rapat umumnya identik dengan fungsi hidrologis yang baik, seperti misalnya hutan dan perkebunan, sedangkan jenis dengan tutupan vegetasi rendah umumnya identik dengan fungsi hidrologis buruk seperti halnya tanah terbuka atau pemukiman dengan permukaan tanah atau atap yang kedap air. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa perubahan selalu terjadi mengarah pada meluasnya daerah dengan fungsi hidrologis yang buruk dan amat jarang terjadi kebalikannya.


KESIMPULAN

Ketersediaan Sumberdaya Air di suatu daerah dapat terrepresentasikan dengan baik secara kuantitatif dan terdistribusi secara spasial dengan cara menyusun faktor-faktornya pada suatu format yang menggambarkan proses daur air di tempat tersebut.
Disamping dapat menggambarkan ketersediaan sumberdaya air secara spasial beserta fluktuasi bulanannya, Basis Data Faktor-faktor Sumberdaya Air dapat pula dipakai untuk menduga, dengan cara simulasi, ketersediaan sumberdaya air pada saat dimana kondisi tutupan lahan dan fluktuasi iklim yang berbeda dari keadaan aktual saat basis data disusun.


UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih pertama-tama disampaikan kepada Ir. Tjoek Azis Soeprapto dari Pusat Penelitian Geologi Kelautan dan rekan-rekan dari Puslit geoteknologi-LIPI: Ir. Ida Narulita, Ir. Dyah Marganingrum MSi, Ir. Rizka Maria MSi, dan Ir. Harry Rahyuwibowo, untuk diskusi dan bantuannya dalam menyajikan model CN-SCS secara spasial dengan menggunakanhasil penginderaan satelit dan SIG. Data diperoleh dengan bantuan dan kerjasama berbagai fihak, utamanya Ir. Yeyeh Setiadi dari PSDA Propinsi Jawa Barat, serta para staf dan karyawan PT. Indonesia Power dan PT. Perkebunan Nusantara. Penelitian ini dibiayai oleh Program Kompetitif LIPI tahun 2007 dan 2008.


DAFTAR PUSTAKA

(1)    Thornwaite and Mather, 1957.  Instructions and tables for computing Potential Evapotranspiration  and the water balance. Publications in climatology. Brexel Institute of Technology, Centreton , New Jersey. 311p.
(2)    Neraca Air Spasial di Bagian Hulu DAS Citarum sebagai Basis Data Anggaran Air. Teknologi Indonesia vol. 29 ., no.1,  2006.
(3)    Djuwansah M.R., R. Haryanto, 2006. Spatial Monthly water budget Development of Bandung  Basin. Proc. Of Int. Symp on Geotechnical Hazards. LIPI-ENGGEOL-Codata-IAGI.
(4)    Dam M.A.C., 1994. The late quartenary evolution of Bandung Basin, West Java – Indonesia. Dept. of  Quartenary Geology, Fac. Of Earth Sciences Vrije University, Amsterdam.
(5)    Ruchiyat S., A. Sukrisna, 1999. Penyelidikan Potensi Cekungan Airtanah Bandung- Jawa Barat.. Direktorat Geologi Tata Lingkungan- Dept. Pertambangan dan Energi.
(6)    Aust H., M. Siebenhuner, M. Toloczyki, W. Wagner, 1994. Groundwater Protection and Selection of Waste Disposal sites in the Greater Bandung Area., Indonesia. Natural Resources and Development. Vol 40.Inst. for Sci. Co-operation Fed. Rep. of Germany. Tubingen.
(7)    Narulita I. M.R. Djuwansah, 2006. Some Rainfall Characteristics in Bandung Basin. Proc. Of Int. Symp on Geotechnical Hazards. LIPI-ENGGEOL-Codata-IAGI.
(8)    Mc Cuen, R.H., 1982 A Guide to Hydrologic Analysis using SCS Methods. Prentice Hall Publ.
(9)    Jamison V.C and Kroth E.M., 1958. Available and moisture storage capacity in relation to textural composition and organic matter content of several Missiouri soils. Soc. Soil. Sci. Am. Proc. 22.
(10)  Davis S.S., and R.J.M. de Wiest, 1970. Hydrogeology. John Willey and Son, New York, London, Sydney.
(11)  Delinom R.M., Sudaryanto and E.P. Utomo, 2006. The Bandung Basin Groundwater Flow System and its Improving Management. Proc. of  the Int. Symp. on Geotechnical Hazards: Prevention, Mitigation and Engineering.
(12)  Freeze A. and Chery J.A., 1979. Groundwater. Prentice Hall Inc., Engelwood Cliff, N.J.
(13)  Chamayou H. and J.P. Legros, 1989. Les bases physiques, chimiques, et mineralogiques de la science du sol. Agence de coop. cult. Et techniques. Conseil int. de la Langue Francaise. Presses Univ. de France.
(14)  Nathan R.J.  and T.A. Mc. Mahon, 1990.  Evaluation for automated Techniques for Baseflow and recession Analyses. Water Resources Research, vol 26. Pp. 1465-1473.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar